Perjalanan ke Kobe - Haruki Murakami (Part 3)

sebuah upaya menerjemahkan. 

dari versi bahasa Inggris A Walk to Kobe oleh Philip Gabriel.

part 1 read here. part 2 read here

***


Kuayunkan kakiku dari Nishinomiya ke Shukugawa. Matahari belum terlalu tinggi, namun sudah cukup terang dan hangat. Dengan langkah-langkah lumayan gegas seperti ini tak ayal aku mulai berpeluh. 

Memang, aku tidak perlu peta untuk tahu di mana kira-kira aku berada saat ini. Hanya saja, saat ini aku sudah tidak ingat lagi nama-nama jalan yang ada. Aku yakin, dulu, jalan ini pasti sudah pernah aku lalui beratus-ratus kali, tapi sekarang benar-benar tidak ada gambaran sama sekali. Kosong. Kenapa aku tidak bisa mengingat apapun? Aneh. Aku merasa asing. Seakan-akan pulang ke rumah dan mendapati semua furniturku berganti rupa.

Tak butuh lama, aku menyadari alasannya. Tempat yang dulu kosong, kini telah berisi; dan tempat yang dulunya selalu terisi kini kosong - seperti klise negatif dan positif foto yang saling menggantikan satu sama lain. Dari yang kulihat, banyak yang awalnya merupakan lahan kosong kini menjadi kediaman; dan yang dulunya adalah deretan rumah-rumah tua, kini kosong sebab rata dengan tanah saat diguncang gempa bumi. Perbedaan kondisi ini menjadi salah satu penyebab terbesar buramnya kenanganku mengenai kota ini pada masa lalu.  

Rumah tua yang dulu aku diami dekat Shukugawa telah menghilang, tergantikan dengan satu deret bangunan rumah bertingkat modern. Lapangan kosong di sekolah dekat rumah sekarang telah menjadi area rumah darurat untuk para korban gempa. Tempat di mana aku dan teman-temanku sering bermain base ball, kini disesaki dengan gantungan baju-baju cucian dan futon  milik penghuni yang sedang diangin-angini. Sempit dan padat. 

Aku mencoba menelusuri jejak-jejak masa lalu; namun nihil. Kulihat air yang mengalir di sungai masih jernih dan bersih seperti dulu, tapi ada perasaan ganjil yang menjalar saat melihat dasar sungai yang kini rapi dilapisi dengan beton. 

Aku berjalan sejenak ke arah laut dan berhenti di sebuah kedai sushi lokal. Saat itu Minggu siang, dan kedai disibukkan dengan pesanan bawa-pulang. Si asisten kedai sedang keluar untuk mengantarkan pesanan dan belum akan kembali dalam waktu cukup lama, dan sang empu kedai pontang-panting menjawab dering telepon pesanan. Suasana khas yang bisa kau temukan di manapun di Jepang. Aku menunggu pesananku datang, menyesap bir dan setengah menonton televisi. Gubernur prefektur Hyogo sedang berbicara dengan seseorang di sebuah program TV mengenai rekonstruksi pasca gempa yang sedang berjalan. Aku berusaha mengingat apa yang dia bicarakan, namun, demi apapun aku tak bisa mengingat sepatah katapun. 

***

Sewaktu masih kecil, jika aku memanjat tepian sungai, aku bisa melihat lautan terbentang depan wajahku tanpa ada penghalang apapun. Aku sering berenang di sana pada musim panas. Aku mencintai lautan dan aku senang berenang. Aku juga pergi memancing di situ, dan mengajak jalan-jalan anjingku setiap hari. Terkadang, aku hanya duduk dan tidak melakukan apa-apa. Kerapkali aku menyelinap keluar dari rumah di malam hari, menghabiskan waktu di tepi pantai bersama teman-temanku mengumpulkan kayu-kayu hanyut yang berserakan lantas membuat api unggun. Aku mencintai aroma laut, deru ombaknya dari kejauhan, dan segala sesuatu yang datang bersamanya. 

Namun kini, laut itu tidak lagi ada. Mereka menebas gunung, membawa tanah hasil kerukan dengan truk dan menimbunnya. Dengan jarak antara gunung dan laut yang dekat, kawasan ini memang cocok untuk pekerjaan konstruksi semacam itu. Perumahan-perumahan kecil yang teratur rapi bermunculan di mana dulu pegunungan berada. Dan perumahan-perumahan kecil yang serupa muncul pula di area timbunan. Semua ini terjadi setelah aku pindah ke Tokyo, pada era keemasan pertumbuhan Jepang, ketika negara ini bergejolak dengan ledakan pembangunan nasional. 

Saat ini aku memiliki rumah di tepi pantai, di salah satu kota prefektur Kanagawa dekat Tokyo, dan kerap kali pulang-pergi ke Tokyo. Sayangnya, atau lebih tepatnya aku bisa bilang sangat sayang sekali, kota tepi laut ini lebih mengingatkanku pada kampung halaman daripada kampung halamanku itu sendiri. Kawasan ini dihiasi dengan pegunungan hijau dan pantai yang indah. Aku ingin menjaga keindahan ini sebaik-baiknya. Sebab, sekali keasrian alam ini hilang maka ia akan hilang selamanya. Sekali kerusakan terjadi sebab ulah manusia, tidak akan pernah bisa dikembalikan seperti semula. 

Di seberang tepian sungai yang dulunya adalah resort tepi laut bernama Koroen, kini telah menjadi semacam teluk kecil yang nyaman. Para peselancar angin berusaha gigih mengendalikan angin. Sedang di sebelah barat, yang dulunya adalah pantai Ashiya, kulihat satu baris bangunan apartemen bertingkat yang tinggi. Menjulang-julang ke langit seperti jejeran monolit kosong tanpa jiwa. 

Di pesisir pantai, beberapa keluarga yang piknik dengan mengendarai mobil station wagon dan minivan, terlihat tengah menikmati barbecue dengan tabung gas kecil. Ah, outdoor activity kalau orang-orang bilang. Mereka memanggang daging, ikan dan sayuran. Asap pembakaran berwarna putih lamat-lamat membumbung ke langit seperti pendar cahayar di lanskap Minggu yang menyenangkan ini. Langit hampir bersih dari awan. Tipikal bulan Mei yang hampir sempurna. Tetap saja, saat aku duduk di bantaran beton ini sembari memandang ke arah di mana laut sebenarnya pernah ada, segala sesuatu yang ada di sini perlahan dan dalam senyap kehilangan realitanya, laiknya hembusan angin dari ban bocor. 

Di keheningan ini, sulit untuk menangkal adanya jejak-jejak kebrutalan. Dan dengan begitulah aku seketika sadar. Bahwa, kecenderungan buruk seperti itu, sebagian tepat berada di bawah kaki kita, sedangkan sebagiannya lagi ada di dalam diri kita. Yang satu menjadi perumpaan untuk lainnya. Atau mungkin, bisa dipertukarkan. Terbaring di sini, tertidur, serupa sepasang hewan yang berbagi satu mimpi. 

***

Comments

Popular posts from this blog

Sarkem, Jogja's Sex Stop

5 songs i over-played and never less love

Berpindah Kota