Perjalanan ke Kobe - Haruki Murakami (Part 1)

sebuah upaya menerjemahkan. 

dari versi bahasa Inggris A Walk to Kobe oleh Philip Gabriel.





Pada bulan Mei tahun 1997, dua tahun selepas gempa bumi besar yang mengguncang Kobe, tersampir di kepalaku sebuah ide untuk melakukan perjalanan solo nan santai dari Nishinomiya ke Sannomiya di pusat kota Kobe. Kebetulan saat itu aku sedang menetap di Kyoto untuk urusan pekerjaan, dan akan melanjutkan ke Nishinomiya. Di peta kulihat jaraknya sekitar 15 kilometer ke barat dari situ ke Kobe. Memang tak bisa dibilang dekat, tapi tak pula terlalu jauh yang bikin sengsara. Lagipula, aku adalah seorang pejalan kaki yang lumayan hebat. 

Aku lahir di Kyoto, tapi tak berapa lama kemudian keluargaku pindah ke Shukugawa, daerah sekitaran Nishinomiya. Sesaat kemudian kami berpindah lagi, lebih dekat ke Kobe, ke Ashiya, di mana aku menghabiskan sebagian besar masa remajaku. 

Sekolahku terletak di perbukitan di atas kota, jadi tak heran jika pusat kota Kobe adalah tujuan utamaku jika aku ingin menghabiskan waktu bersenang-senang, terutama di sekitar Sannomiya. Aku pun resmi menjadi si Hanshin-kan boy, sebuah istilah yang umum digunakan untuk menyebut kawasan ini yang berlokasi antara Osaka dan Kobe. 

Dahulu, dan  mungkin juga sekarang, daerah ini adalah tempat yang menyenangkan untuk tumbuh dewasa. Terbilang hening dan santai, memberikan perasaan terbuka dan rileks.  Diberkahi dengan laut, pegunungan, dan kota besar yang tak seberapa jauh. Aku senang pergi ke konser, berbuku buku bekas murah, nongkrong di kafe jazz, dan menikmati film-film new-wave di Teater Seni Guild. Penampilan andalanku saat itu? Tentu saja, VAN jaket. 

Namun kemudian aku pindah ke Tokyo untuk berkuliah, menikah dan mulai bekerja, dan jarang bisa mengunjungi kota kecil yang berada di antara Osaka dan Kobe ini. Tentu saja ada kalanya aku pulang, namun, segera setelah menyelesaikan pekerjaan, tanpa babibu aku sudah berada di shinkansen yang membawaku balik ke Tokyo. Kehidupanku padat dan aku menghabiskan waktu yang cukup banyak di luar negeri. Dan tentunya ada alasan-alasan personal lain yang melengkapi. 

Beberapa orang mungkin terus-menerus diliputi keinginan untuk kembali ke kampung halaman mereka, sedangkan yang lain justru merasa bahwa mereka tak mungkin kembali. Seringkali, takdir seolah-olah memisahkan orang-orang ini menjadi dua kelompok berbeda, yang mana tak ada kaitannya dengan seberapa kuat perasaanmu terhadap si kampung halaman. Suka tak suka, aku merasa bahwa aku termasuk di kelompok kedua. 

Bertahun-tahun lamanya orangtuaku menetap di Ashiya. Namun saat gempa bumi besar Hanshin melanda di Januari 1995, rumah mereka mengalami kerusakan yang terlalu parah untuk layak didiami. Tak lama kemudian mereka pun pindah ke Kyoto. Jadi, terlepas dari semua memori yang aku simpan untuk diriku sendiri (harta-harta berhargaku), sebenarnya tidak lagi ada hal-hal nyata yang menghubungkanku dengan Hanshin-kan. Bahkan kasarnya bisa dibilang bahwa itu bukanlah kampung halamanku lagi. Aku merasakan kehilangan yang luar biasa atas kenyataan ini, seolah-olah sumbu memoriku perlahan-lahan namun nyata, berderit-derit di dalam diriku. Sebuah sensasi fisik. 

Mungkin, justru karena itulah aku ingin melakukan perjalanan ke sana, dengan waspada dan penuh perhatian atas apa yang mungkin akan kutemukan. Mungkin aku ingin menyaksikan sendiri bagaimana kampung halaman yang aku-sudah-kehilangan-semua-koneksi ini sekarang. Seberapa banyak bayangan (atau bayangan dari bayangan) dari diriku yang akan aku temukan di sana? 

Aku juga bermaksud untuk melihat imbas gempa bumi besar Hanshin di kota di mana aku tumbuh besar ini. Beberapa kali  mengunjungi Kobe setelah gempa, sejujurnya, aku lumayan terkejut melihat betapa besar kerusakan yang ditimbulkan. Namun kini, dua tahun kemudian saat kota ini telah memulihkan diri, aku ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri perubahan-perubahan yang telah ada --apa saja yang telah lenyap, apa saja yang tersisa. Kurasa, sedikit banyak pastilah ada hubungannya dengan siapa diriku yang sekarang. 
***


Comments

Popular posts from this blog

Sarkem, Jogja's Sex Stop

5 songs i over-played and never less love

Berpindah Kota