Perjalanan ke Kobe - Haruki Murakami (Part 2)

sebuah upaya menerjemahkan. 

dari versi bahasa Inggris A Walk to Kobe oleh Philip Gabriel.

part 1 read here.

                                                        Hanshin Expressway, Januari 1995 (Wikipedia Common)

***

Beralaskakikan sepatu dengan sol karet sembari menggendong tas ransel berisikan buku catatan dan kamera kecil, aku menjejakkan kaki di Stasiun Nishinomiya dan mulai berjalan dengan langkah santai ke arah barat. Saat itu cuaca begitu cerah dan bermandikan cahaya matahari, sampai-sampai aku mengenakan kacamata hitam. 

Tempat pertama yang aku datangi adalah area berbelanja di dekat pintu keluar selatan stasiun. Saat masih SD, aku kerap mengayuh sepedaku ke situ untuk berbelanja. Di dekat situ terdapat perpustakaan kota, tempatku menghabiskan waktu senggang membaca setiap buku remaja yang bisa aku temukan. Ada juga toko mainan dan kerajinan tempatku berlangganan model kit plastik. Itulah kenapa berada di tempat ini rasanya begitu nostalgik, kenangan-kenangan membanjiri kepalaku. 

Ku kira tak seberapa lama semenjak terakhir aku ada di sini, namun area perbelanjaannya berubah begitu banyak hampir tak bisa dikenali. Hanya saja, aku tak begitu bisa memperkirakan seberapa banyak yang berubah murni karena pergantian zaman, dan seberapa banyak akibat kerusakan gempa bumi. Namun demikian, luka peninggalan gempa bumi besar itu terbaca dengan jelas di sini. Bekas bangunan runtuh meninggalkan tanah-tanah kosong. Berseling-selingan dengan bangunan toko darurat, sambung-menyambung seperti deretan gigi-gigi yang tanggal. 

Rumput musim panas tumbuh liar di bidang-bidang kosong yang dipagari, jalanan aspal masih penuh dengan rekahan. Kenestapaan mengerikan sisa-sisa gempa yang terlihat di setiap sudut membuat kawasan ini terlihat seperti reruntuhan kuno. Dibandingkan dengan area perbelanjaan di pusat kota Kobe yang menjadi fokus saat itu, dan yang telah mengalami perbaikan pesat, kekosongan di sini begitu berat dan pekat dengan kesunyian yang menenggelamkan. Meskipun, tentu saja hal serupa terjadi tak hanya di Nishinomiya. Pastilah masih banyak tempat-tempat di sekitar Kobe dengan cacat yang serupa namun lebih kerap terlupakan.

Melewati area perbelanjaan, tepatnya di seberang jalan utama adalah kuil Ebisu. Kuil ini adalah kuil yang sangat besar dengan kayu-kayu tebal di dalamnya. Saat masih kanak-kanak, aku dan teman-temanku senang bermain di sini. Jadi, rasanya sungguh masygul melihat bekas kerusakan gempa yang ada. Sebagian besar lampu-lampu batu yang berbaris di jalan raya Hanshin kehilangan lentera bagian teratasnya. Pecah berserakan di tanah seperti kepala yang bergelimpangan ditebas pedang tajam. Sedangkan badan bagian bawahnya menjelma barisan tiang-tiang patung batu yang kehilangan guna dan makna, senyap, seperti simbol-simbol dari sebuah mimpi. 

Jembatan batu tua yang membentang di kolam tempatku sering menangkap udang  (menggunakan teknik sederhana: mengikatkan seutas tali di botol, mencelupkannya di bubuk mie sebagai umpan, lantas menurunkannya ke air dan udang akan masuk ke dalam botol yang kemudian segera aku tarik ke atas) telah runtuh dan dibiarkan saja seperti itu. Air di kolam begitu gelap dan berlumpur. Terlihat beberapa ekor kura-kura berbagai usia tanpa-isi-pikiran berjemur di atas batu-batu kering. Puing dan kerusakan terlihat di mana-mana seolah-olah tempat ini adalah reruntuhan kuno. Hanya dalamnya hutan saja yang masih sama sejak aku masih kecil. Gelap dan tetap tak terjangkau waktu. 

Aku duduk beralaskan tanah kuil di bawah naungan matahari permulaan musim panas.  Memandang sekeliling berusaha membiasakan diri dengan apa yang kulihat. Meresapi dan menerima pemandangan ini sebiasa yang aku bisa, sedalam dan sekhusyuk mungkin. Berusaha mengingat bagaimana aku yang dulu. Namun, ini tentunya akan memakan waktu yang lama, seperti yang kau mungkin bayangkan.  

***







Comments

Popular posts from this blog

Sarkem, Jogja's Sex Stop

5 songs i over-played and never less love

Berpindah Kota