satu sore saat kertas putih pudar itu dikirimkan ke pintu rumahku

hujan selama satu windu telah mengubah warna kursi dan meja di taman yang dulu sering kita sambangi. putih yang pucat dan pudar. kita seringkali berlama-lama di sana selepas sekolah, sekadar duduk dan berbagi kesunyian. kesunyian, katamu, adalah hening yang mampu kita nikmati bersama-sama. 


kemarin sore, sepulang kerja aku menemukan selembar kertas putih pudar serupa di pintu rumah. putih gading dengan tulisan hitam melengkung-lengkung. dengan namamu, nama orang tuamu, dan nama seorang perempuan yang tidak pernah mau aku kenal. 

aku membuka pintu, melepaskan sepatu, menaruh tas jinjing dan duduk dengan diam di kursi kayu di depan televisi. ada jeda hening yang digantung lamat-lamat di kening. angin lewat di pucuk hidung sambil terhuyung mabuk, sambil melingkarkan lengan dinginnya disekeliling leherku. kertas putih pucat itu masih aku pegang. lama-lama warnanya merasuk ke kulit. ke pipi. ke bibir. ke pias-pias tulang. 

langit masih menyisakan beberapa potong garis merah. aku membayangkan awan-awan menjadi spons raksasa yang menyerap air mataku. aku ingin menghabiskan sore ini dengan berdiri. memanjangkan lengan mengelilingi tubuhku sendiri. sampai matahari benar-benar jatuh. sampai matahari benar-benar jatuh. dan sunyi menjadi pembunuh paling keji.  

Comments

Popular posts from this blog

Sarkem, Jogja's Sex Stop

5 songs i over-played and never less love

Berpindah Kota