pertanyaan-pertanyaan yang mungkin diajukan di wawancara pekerjaan (part 1)
Buat saya pribadi, sesi
wawancara adalah salah satu sesi yang paling menegangkan. Meski sudah
bersiap-siap dan membaca banyak tips & trik di muse.com, tetap saja sih
deg-degan. Apa yang sudah disampaikan versus apa yang tersampaikan bedanya
signifikan. Huh.
Saya pikir, dari sisi
sang pewawancara pun pasti deh ada banyak hal yang mau ditanyakan, tapi karena
keterbatasan waktu, situasi, mood yang nggak mendukung; tidak semua bisa
dikeluarkan.
Jadi, di sini saya tuh
pengen bikin sesi tanya-jawab dengan diri sendiri, dengan pertanyaan-pertanyaan
yang mungkin diajukan di wawancara pekerjaan. Semoga ada hrd yang nemu tulisan
saya kali ini. Siapa tahu bisa bantu mereka mengenal saya lebih
baik. — hahaha.
Oke, mari mulai
ya.
1. Coba ceritakan
tentang pekerjaanmu saat ini.
Saat ini saya adalah
pekerja industri kreatif di advertising agency. Role saya adalah seorang Account
Executive (AE). Secara garis besar, lingkup pekerjaan dan tanggung jawab saya
bisa dibilang adalah end-to-end management for brand communication
development.
Saya telah menjalani
peran ini selama kurang-lebih 5 tahun. Dan, selama kurun waktu itu saya
menangani klien dari berbagai industri. Klien pertama saya, otomotif. Kemudian,
berturut-turut saya juga menjadi PIC di brand popok bayi, serta makanan &
minuman ringan.
Di kesehariannya,
seorang AE bisa dibilang sebagai key person untuk memastikan
project berjalan lancar dari hulu ke hilir. Apapun isu yang dihadapi, harus
tahu cara mengatasinya — meskipun bukan berarti saya sendiri yang
membuat solusinya. Ibaratnya, harus bisa mengurai benang kusut. Ini sih, yang
sering saya alami.
Isu-isu ini bervariatif.
Mulai dari perkara brief klien yang awalnya tidak jelas maunya apa dan tidak
terstruktur, AE harus tahu bottle neck-nya di mana. Terkadang klien
tidak tahu apa yang harus di-provide, maka seorang AE harus bisa
mengarahkan si klien apa yang bisa mereka lakukan. Bukan berarti AE lebih paham
mengenai pekerjaan si klien ya, hanya saja saya pikir klien tuh butuh POV juga
dari pihak kedua.
Bisa juga perkara timeline
yang semrawutan dan tidak masuk akal. Maka AE harus tahu bagaimana menentukan
prioritas, memahami proses produksi, dan faktor-faktor lain seperti kondisi
internal tim. Dari situ, keputusan yang diambil harus bisa mengakomodasi
kebutuhan yang ada. Meskipun ya, perlu diingat bahwa kita tidak bisa
menyenangkan semua pihak, sih. Pasti harus ada yang harus berkompromi
‘lebih’.
Oh iya, hal yang paling
saya sukai di pekerjaan ini adalah proses kreatif yang harus saya lalui. Untuk proses
pembuatan thematic campaign misalnya, seorang AE harus bisa support selain
perkara administratif. AE juga kudu mumpuni memberikan opini, ide, dan masukan.
Dan, seorang AE bisa melakukan ini jika mereka memiliki pengetahuan yang kuat
tentang brand, kemampuan riset yang oke, dan tentunya creative
skill. Beruntungnya, saya cukup OK lah untuk urusan copywriting,
hehe. Karena memang dulu pekerjaan saya yang pertama banget itu adalah
seorang copywriter, sebelum akhirnya terjun jadi AE dan
keterusan sampai sekarang.
Satu hal lagi, nih. Kadang
saya juga harus melakukan beberapa pekerjaan yang tidak termasuk dalam role
seorang AE. Misalnya, harus merambah menjadi seorang SMM (social media manager)
dadakan. Dan, fortunately I also enjoy this part
thoroughly. Tentunya saya nggak acquire skill ini
sendirian, ada tim yang membantu dan memotivasi saya untuk bisa keep
up. Dari yang awalnya asing, lama-kelamaan malah jadi menyenangkan
untuk digeluti.
Over the years, I have
grown fond of the brands I help to grow. They are my baby. I am sincerely happy
for every achievement they make like I am happy for mine. Bahkan setelah saya nggak lagi pegang mereka,
saya tetap mengikuti, kok. Hehe.
****
Comments
Post a Comment