-
Ini adalah menyerah. Ini adalah undur dan menghapuskan jalan
pulang. Menciptakan jarak bukan lagi sebuah pilihan; karena ia masih bisa aku hilangkan
apabila ingin kembali.
Kesalahan-kesalahan yang tidak sudi diakui; permintaan maaf
yang dikabulkan setengah hati; kekeraskepalaan untuk menyimpan amarah; egoisme
yang menjulang serupa tebing; rupanya harus dibayar dengan harga yang mahal. Kesadaran,
rupanya datang terlambat dengan kereta paling malam, hanya menyisakan
wajah-wajah kebosanan yang terkantuk-kantuk.
Apakah penyesalan itu sayang?
“Berbahagialah!”
kataku. Tanpa mendoakan. Karena keikhlasan tidak dibungkus sepaket dengan kata
kerja melepaskan. Serupa nasib getir, perpisahan adalah lelucon kosmik. Langit senang
bercanda dengan mementalkan rencana-rencana yang diam-diam aku kirim ke atas.
Aku belajar untuk kompromi, tapi kecewa adalah karib amarah.
Ah, sayang, mungkin kau tidak tahu, bahwa sulut amarah tidak
serta merta mematikan cinta. Barangkali ini hanya aku yang paham, dan pahamku
berkawan dengan kesunyian. Bukankah begitu nasib perasaan yang tidak sejalan
dengan akal?
Sekarang, aku mendoakanmu. Dengan rencana-rencana yang tidak
lagi kau bicarakan denganku. Dengan cerita-cerita yang bukan denganku kau
bagikan. Hiduplah kau dengan pilihan-pilihanmu dan aku dengan keputusanku.
Comments
Post a Comment