Berbincang Dengan Diri Sendiri Pada Pukul Dua Pagi.
Jika bisa memilih tempat untuk bercakap-cakap
dengan orang baru, kamu akan memilih di mana?
Saya belum pernah ke taman. Mungkin taman saja. Taman yang luas sekali
dengan rumput teki sebagai alasnya. Tidak pakai bangku atau kursi. Mereka membatasi
gerak. Gelar tikar sajalah. Leluasa untuk melihat ke mana-mana. Leluasa pula
untuk mengalihkan pembicaraan.
Baju seperti apa yang saya pakai saat kencan pertama?
Saat akan. Akan. Kala yang akan datang. Bukan lampau.
Tolong, dibedakan.
Baiklah. Baju apa yang akan saya pakai untuk kencan pertama? Kemeja lengan
panjang kedodoran. Berwarna kuning, tanpa kantong. Polos. Mungkin ada bordiran
bunga di tepinya cantik juga. Celana jeans. Sepatu kets murah berwarna merah
yang saya beli di Jalan Mataram. Kerudung berwarna coklat susu. Saya benar-benar
bukan gadis dengan dandanan istimewa. Haha.
Kamu ingin orang-orang berpikir bagaimana
tentang dirimu?
Bukankah ini pertanyaan yang benar-benar mencerminkan bagaimana saya di
mata saya sendiri?
Kau pikir demikian?
Tentu saja. Tapi, tak apa-apalah. Kujawab saja. Baiklah. Saya ingin
orang memandang saya sebagai orang yang; misteris. Haha. Sayangnya, ini tidak
pernah terjadi. Saya terlalu ekstrovert –meminjam istilah psikologi dari
internet--. Berbicara terlalu banyak. Tertawa lebih kencang. Memancing tawa
lebih sering. Menebar pandangan ke mana-mana.
Dengan kata lain, saya berusaha terlalu keras menjadi orang yang (bisa
dianggap) menyenangkan. Pada level yang lebih tinggi, saya bisa jadi mirip
dengan JD, Dr. Dorian, di serial Scrubs. Kalian harus menontonnya untuk paham
Jadi, intinya?
Oh, iya. Berbicara tentang ukuran ideal, saya ingin dipandang sebagai
seorang yang misterius dan pendiam sih. Dark
and twisted. Entah kenapa terdengar seksi. Buat saya, sih. Apakah jawaban
saya diterima?
Paling tidak jawabanmu menjawab pertanyaan. Baiklah.
Selanjutnya. Apakah kamu orang yang gampang percaya?
Iya. Juga ceroboh. Gampang memercayai orang terkadang berbanding lurus
dengan frekuensi kecewa. Sayangnya, sekali saya kecewa, susah sekali untuk
percaya lagi. Pada dasarnya, saya menganggap semua orang itu baik, hatinya. Entahlah
isi kepalanya. Menaruh kepercayaan kepada satu orang itu adalah investasi. Investasi
yang tidak bisa kau kelola sendiri, sama sekali. Ibarat kata, saham yang kau
beli, orang lain yang memegang kendali. Begitulah.
Apa keahlian terbaikmu? Oh, dan tolong jangan bilang: menulis. Karena saya
tahu kau tidak.
Kurang ajar. Baiklah. Tapi sebenarnya kamu benar, sih. Menulis bukan
keahlianku. Apa ya, keahlianku? Ah, pertanyaamu terlalu sulit.
Oh, bagaimana mungkin. Ini adalah pertanyaan
standar saat wawancara kerja nanti. Latihanlah!
Menyebalkan!
Keahlian terbaik? Oh iya, bekerja di bawah tekanan. Secara harfiah. Bukan sekadar pemanis CV. Saya bekerja dengan baik di bawah tekanan. Haha.
Keahlian terbaik? Oh iya, bekerja di bawah tekanan. Secara harfiah. Bukan sekadar pemanis CV. Saya bekerja dengan baik di bawah tekanan. Haha.
Kau sebaiknya memikirkan lebih baik dan
berlatih menjawab pertanyaan ini dengan
jawaban lebih menarik. Ganti sajalah. Kemampuan apa yang ingin kau kuasai
dengan baik?
Nah! Pertanyaan yang tepat! Menyenangkan sekali kalau menjawab yang ini.
Jawablah.
Iya, iya. Kemampuan yang ingin saya kuasai dengan baik adalah: kemampuan
untuk fokus pada satu hal. Satu hal saja. Karena multi-tasking tidak ada keren-kerennya sama sekali. Eh, tidak ada
enak-enaknya. Lebih baik menguasai satu hal dengan baik sekali, daripada
setengah-setengah di semua hal. Manusia setengah.
Apakah kau orang yang pintar?
Pertanyaanmu jahat.
Bagaimana bisa jahat?
Dasar. Apakah saya orang yang pintar? Sejujurnya, iya. Dulu. Secara akademik.
Bolehkah saya memamerkan deretan piala dan piagam yang saya raih sejak kecil?
Wow.
‘Wow’-mu tidak menyenangkan. Haha. Saya adalah orang yang pintar. Sejak SD
– SMA. Tapi, semua berubah sejak status saya berganti menjadi mahasiswa. Saya turun
gunung. Memutuskan menjadi orang yang biasa-biasa saja. Terlena menjadi orang
biasa, saya kebiasaan. Haha. Tapi sebenarnya tidak buruk juga. Saya cukup
cerdas kok menanggapi obrolan apapun. Tidak kudet.
Bisa jadi ahli lah kalau saya mencari tahu lebih baik, mungkin.
Obrolan ya? Hei, obrolan apa yang paling kau
suka? Tentang apa?
Saya suka dengan yang indah-indah. Saya suka dipancing dengan bahan
obrolan yang ringan. Jangan langsung bicarakan pemilihan presiden dan isu buruh
atau imigran di Amerika. Mungkin kau bisa bertanya pada saya tentang, “Menurutmu,
di mana saya bisa membeli pigura antik?”
Tidak nyambung.
Biar! Haha.
Apakah menurutmu kau orang yang menarik?
Iya. Setidaknya riset membuktikan. Hahaha.
Tolonglah.
Hei, saya berbicara benar. Entahlah dari segi fisik atau pembawaan. Tapi, saya tidak cantik sih. Sangat biasa saja. Jadi, mungkin, orang akan
berpendapat bahwa saya menarik kalau sudah mengobrol. Setidaknya sejauh
ini, ya begitu.
Begitu apanya?
Duh, masa’ saya harus bilang tentang beberapa orang yang disinyalir
naksir saya.
Ya, tidak apa-apa. Kalau kamu tidak keberatan.
Baiklah. Setidaknya, pacar eh mantan-mantan pacar saya menyukai saya
setelah interaksi dengan saya sih. Tidak ada ceritanya yang jatuh cinta pada
pandangan pertama. Hiks. Padahal saya percaya hal ini. Saya ingin jatuh cinta
pada pandangan pertama.
Jangan membelok dari pertanyaan! Menurutmu kenapa
kamu menarik di mata mereka?
Haha. Mana saya tahu!
Oh, ayolah. Jauh di dalam lubuk hatimu, kamu
tahu. Atau setidaknya, kamu punya beberapa ground theory tentang kenapa mereka
menyukaimu.
Saya akan menjadi narsis!
Tidak apa-apa. Saya senang.
Kamu menyebalkan tapi menyenangkan.
Saya ‘kan kamu?
Sekarang saya terdengar bipolar.
Kamu hanya punya kata hati, bukan berarti
bipolar. Tolonglah, berhenti membaca artikel tentang Marshanda.
Haha. Saya menarik karena, teori pertama, suara saya bagus saat saya
menyanyi. Setidaknya ada beberapa orang yang bilang begini. Teori kedua, saya
pendengar yang baik. Saya juga pembicara yang baik. Saya suka membantu. Intinya,
saya teman mengobrol yang menyenangkan. Saya membuat orang nyaman. Teori ketiga,
saya minum kopi tubruk, mendengarkan lagu-lagu lawas tahun 1950-1980an, dan menyukai
pinterest –walaupun belum berhasil membuat satu kerajinan tanganpun-. Teori keempat,
...
Kamu memang narsis.
Hoi. Ini bukan sekadar narsis. Terkadang kan, kita perlu diingatkan
tentang kebaikan-kebaikan atau hal-hal menyenangkan tentang diri sendiri. Mendongkrak
self-esteem!
Lanjutkan sajalah. Masih ada?
Teori keempat, mereka khilaf.
…… sekarang kamu terdengar sarkas.
Haha. Bukankah setiap dari kita pernah menjadi satu kesalahan seseorang?
Ya. Sepertinya begitu. Ini sudah pukul 2.24
WIB. Kamu tidak mau tidur?
Belum mengantuk. Tadi saya minum kopi tubruk phoenam. Ampasnya banyak. Seperti
residu masa lalu.
Kamu menceracau. kita lanjutkan kapan-kapan
saja, ya.
Menyebalkan. Baiklah. Selamat tidur. Ceklah dulu timeline, siapa tahu dia menyapa.
Saya aminkan.
Amin.
ps: sebagaimana caranya bercerita apa yang sedang kau pikirkan, bertanya dan menjawab sendiri bisa menjadi alternatif. haha. benarnya menulis seperti ini menyenangkan juga. kau tahu? saat kau benar-benar tidak tahu
Comments
Post a Comment