takut

bagaimana menggambarkan rasa takut? aku pikir menuliskannya saja tidak cukup.
aku-takut
dalam konteks apapun. tolong jangan anggap ini hanya takut kehilangan kau, --meskipun ya, itu juga--. akhir-akhir ini aku juga takut lagi. aku takut tidak bisa lagi melakukan hal yang dulu sering sekali aku lakukan. hal yang -kata orang-orang aku cukup cakap-. aku takut kehilangan kemampuan. tolong jangan anggap ini hanya takut kehilangan kemampuan mencintai kau, --meskipun ya, itu juga mungkin--. 
baiklah, ketakukan ini semakin menjadi-jadi. 
setiap hari aku bangun. tentu saja dengan ketakutan yang terbawa sisa semalamnya. takut-takut itu sepertinya menjelma jadi satu garis baru di sepraiku. makanya, setiap pagi saat aku bangun, seprai makin kusut masai. tidak salah lagi. pasti mereka diam-diam berubah tiap malam. kemudian pindah pula dia ke sarung bantalku. ke selimut. ke bajuku. ke celanaku. ke baju dalamku. benar-benar penelusup mengerikan. 
aku-takut. 
aku takut saat aku merasa takut lama-lama aku bahkan takut untuk mencoba lagi. bahkan untuk berpikir untuk mencobanya. lihat, bagaimana rumitnya kalimat yang aku buat ini. tolong jangan anggap ini hanya takutku mencoba mencintai seseorang lagi --meskipun ya, kemungkinan itu ada--. aku takut bahkan mencoba menjadi sesuatu yang menimbulkan jerih.
aku-takut.
tapi, karena aku ingin seperti yang Nikos Kazantzakis tuliskan di epitaphnya: 

"I hope for nothing. I fear nothing. I am free."

makanya, setiap menjelang tidur diam-diam aku membawa setrika. kalau takut adalah benang kusut, senjata apalagi yang lebih canggih daripada besi datar panas ini? 



Comments

Popular posts from this blog

Sarkem, Jogja's Sex Stop

Yang Nggak Berubah

head empty. no thought.